aswaja
(Tradisi kaum NU)
Disusun
untuk memenuhi tugas semester VI
Dosen
Pembimbing:
Drs. H. Machjan Arif
Penyusun:
Fatchul Anwar
Sokolah Tinggi Agama Islam Bahrul
Ulum
Tambakberas jombang
2012
KATA PENGANTAR
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد
لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى اله وصحبه ومن والاه, اما بعد
Puji syukur
kepada Allah SWT yang telah memberikan penulis keni’matan, yaitu berupa
kesehatan jasmani ataupun rohani sehingga dalam waktu yang ditentukan penulis
telah menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bapak Drs. H. Mahjan Arief. yaitu
tugas aswaja, dimana isi daripada aswaja sendiri terdapat beberapa adat
kebiasaan kaum Nahdliyin. Dan tak lupa terima kasih penulis yang tak terhingga
kepada Bapak Drs. H. Mahjan Arief. atas apa yang telah beliau berikan
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas aswaja ini dengan
sebaik-baiknya.
Adapun adat kebiasaan dari kalangan
kaum Nahdliyin merupakan suatu bentuk kesunnahan dari Rasulullah SAW yang telah
diwariskan kepada kita semua. Di sini penulis telah menguraikan beberapa
adat-adat kebiasaan yang dilakukan oleh kalangan kaum Nahdliyin menurut sumber
hukum islam, yakni Al-Qur’an dan Hadits.
Demikian sepatah kata yang diberikan
oleh penulis, untuk kurang lebihnya penulis mohon maklum atas kekurangan dari
tugas ini.
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Jombang,
20 mei 2012
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.................................................................... i
DAFTAR
ISI.................................................................................... ii
AHLU
AL-SUNNAH WA
AL-JAMA’AH
1. pengertian
ahlu al-sunnah wa al-jama’ah............................... 1
2. Aswaja dan
Perkembangan Sosial Budaya............................. 2
A. TAHLIL..................................................................................... 3
B. TALQIN..................................................................................... 7
C. QUNUT...................................................................................... 10
D. BILANGAN SHALAT TARAWIH........................................ 19
E. ADZAN DUA KALI DALAM SHALAT JUM’AT.............. 24
F. MENGUCAPKAN
USHOLLI DALAM NIAT SHALAT... 26
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................... 35
AHLU AL-SUNNAH WA
AL-JAMA’AH
1. pengertian
ahlu al-sunnah wa al-jama’ah
Konsep aswaja selama ini masih
menjadi rebutan setiap golongan, semua kelimpok mengaku dirinya adalah pengaut
ajaran aswaja dan tidak jarang juga di gunakan untuk kepentingan sesaat. Apakah
aswaja itu? Bagaimanakah pula dengan klaim itu, dapatkah dibenarkan?
Aswaja merupakan singkatan dari ahlu
al-sunnah wa al-jama’ah, dan dari situ ada tiga kata yang membentuk istilah
tersebut :
- Ahlun berarti keluarga, golongan atau pengikut
- Al-sunnah yaitu segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, meliputi perbuatan, perkataan, dan ketetapanya
- Al-jama’ah yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat pada masa al-khulafaurrasyidin.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh
Syekh Abdul Qodir Jalilani dalam kitab al-ghunayah li thalibi thariq al-haqq,
juz I, hal.80
فاالسٌّنة
ماسُنَّة رسول الله صلى الله عليه وسلم , والجماعة مااتّفق عليه اصحاب رَسُول
اللهِ صلّى اللهُ عليهِ وسلّمَ فى خلافة الأمَّةِ الأربعةِ الخلفاءِ الراشدينَ
الْمهديٌن رحمةُ اللهِ عليهم اجمعين ( الغنية لطالب طريق الحق جز 1 ص80 )
Artinya : Yang dimaksud dengan al-sunnah adalah apa yang
telah diajarkan oleh Rasulullah SAW meliputi ucapan, prilaku serta ucapan
beliau. Sedangkan pengertian al-jama’ah adalah segala sesuatu yang telah
menjadi kesepakatan para sahabat Rasulullah SAW. Pada masa al-khulafaurrasyidin
yang empat yang telah diberi hidayah (mudah-mudahan Allah SWT memberi rahmat
pada mereka semua). Al-Ghunyah li Thalibi Thariqi al-Haqq juz I hal.80.
Jadi
aswaja merupakan ajaran yang mengikuti semua yang telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Sebagai pembeda dengan yang lain ada tiga
cirri khas kelompok ini, yakni tiga sikap yang selalu diajarkan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabatnya, ketiga cirri tersebut adalah :
a. Al-tawassuth yaitu sikap tengah-tengah,
sedang-sedang, tidak ekstrim kiri maupun ekstri kanan.
b. Al-tawazzun yaitu seimbang dengan segala hal
termasuk dalam menggunakan dalil aqli dan dalil naqli
c. Al-I’tidal yaitu tegak lurus
Ketuga prinsip tersebut dapat dilihat
dalam keyakinan keagamaan (teology), perbuata lahiriyah serta masalah
akhlaq yang mengatur gerak hati(tasawwuf). Dalam praktek keseharian ,
ajaran ahlu al-sunnah wa al-jama’ah dibidang teologi tercerminkan dalam rumusan
yang digagas leh Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidzi, sedangkan dalam masalah
perbuatan badaniyah terwuud dalam mengikuti madzhab empat, yakni Imam Hanafi,
Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali, dan dalam tasawuf mengikuti
rumusan Imam Junaidi al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
2. Aswaja dan
Perkembangan Sosial Budaya
Manusia merupakan makhluk yang diciptakan
oleh Allah dalam bentuk yang paling sempurna diandingkan makhluk-makhluk
lainnya. Manusia diberi akal budi dan hati nurani dan fungsi kekhalifahan untuk
mengatur kehidupan dimuka bumi ini.
Sejarah kehidupan yang dibangun
manusia telah menghasilkan peradaban, kebudayaan dan tradisi sebagai wujud
karya dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup yang
dihadapi dalam lingkungan Negara atau wilayah tertentu. Suatu bangsa atau suku
membangun kebudayaan serta peradaban sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai
social serta pandangan hidup yang diperoleh dari ajaran agama atau faham yang
dianut, kebudayaan dan tradisi merupakan kenyataan dan dialektika sejarah yang
meyebabkan terjadinya saling mempengaruhi, percampuran, serta perbenturan yang
sesuai dengan daya tahan dan daya serap masing-masing.
Dari sinilah muncul gerakan untuk
kembali kepada nilai-nilai, norma, serta tradisi agung dan luhur yang selalu
mengedepankan kebersamaan, persaudaraan serta kedamaian. Hal ini dimaksudkan
untuk meneguhkan apa yag diamalka oleh kaum Nahdliyin itu benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.kendati demikian kita harus mengembangkan
sikap toleransi dalam arti menghormati keyakinan orang lain tanpa harus
menyetujuinya, kita tetap berpijak pada tradisi dan amaliyah NU secara utuh
tanpa harus memaksa orang lain untuk di NU-kan. Tradisi ini antara lain adalah
tahlil, talqin, qunut, 20 rakaat dalam sholat tarawih, adzan dua kali dalam
sholat jum’at, niat sholat diawali dengan usholi, dll. Berikut ini penulis
telah menjelaskan tentang tradisi orang NU seperti yang disebutkan diatas.
A. TAHLIL
Tahlil berasal dari kata هلّلَ
– يُهْلِلُ - تَهْليلاً yang berarti membaca kalimatلااله
الاالله Sedangkan menurut pengertian
yang berkembang dalam masyarakat adalah membaca kalimat thayyibah (sholawat,
tahlil, istighfar, fatihah, surat
ihlas, mu’awidxatain, dll) yang pahalnya ditunjukkan kepada arwah keluarga yang
bersangkutan.
والذين
جاءو من بعدهم يقولون ربناغفرلنا ولاواننا الذين سبقون با الايمان ولا تجعل فى
قلوبنا غلاالذين امنو ربنا انك رؤوف الرحيم (10)
Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka
(muhajirin dan ansor), mereka berdoa : “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah
engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman,
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engaku Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
(QS. Al-Hasyr:10).
عن
النّبيِّ صلّى الله عليه وسلّم قال ( كلمتانِ خفيفتانِ على اللسان ثقيلتان فى
الميزان حبيبتان الى الّرحمن سبحن الله وبحمده سبحن الله العظيم)
. رواه البخارى (احاديث مخترة من الصّحيحين)
Artinya
: Rasul bersabda dua kalimat yang ringan bagi lisan dan berat (timbagan
kebijaksanaan) di mizan( timbangan amal akhirat), dan dicintai oleh dzat yang
mempuyai belas kasih adalah kalimat subhanallah wabihamdihi subhanallahil
adlim. HR. Bukori (dalam kitab Akhadits Muhtar Min Al- Shohihain).
قال
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ماالميِّتُ فى قبره الاّ كا الغريقِ المتغوِّثِ
ينتظر دعوة تلحقه من ابيه او اخيه اوصديق له فإذا لحقته كان احبُّ اليه من الدنيا
وما فيها وإن هدايا الأحياء للأموات الدعاء والإستغفار
Artinya
:Rasulullah SAW bersabda : tiada seorangpun dari mayit dalamkuburnya kecuali
dengan keadaan seperti orang tenggelam yang banyak meminta tolong, dia menanti
doa dari ayah dan saudara atau seorang teman yang ditemuinya, apabila ia telah
menemukan doa tersebut, maka doa itu menjadi sesuatu yang lebih dicintai
daripada dunia dan seisinya, dan apabila yang masih hidup ingin memberikan
hadiah kpada orang yang sudah meninggal dunia adalah dengan doa dan istighfar.
(ihya’ulum al-din, juz IV, hal.476).
Berkumpul
untuk melaksanakna tahlilan merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun
temurun oleh mayoritas umat islam Indonesia, meskipun format acaranya tidak
diajarkan langsung oleh Rasulullah, namun kegiatan tersebut dibolehkan karena
tidak ada satupun unsure-unsur yang di dalamnya terdapat amalan yang
bertentangan dengan ajaran islam, misalnya pembacaan surat Yasin, tahlil,
tahmid, tasbih dan semacamnya. Karena itu, pelaksanaan tahlilan secara esensial
merupakan perwujudan dari tuntunan Rasulullah SAW.
Imam
Al-Syaukani mengatakan bahwa setiap perkumpulan yang didalamnya dilaksanakan
kebaikan, misalnya membaca Al-Qur’an, dzikir dan doa itu adalah perbuatan yang
dibenarkan meskipun tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasul SAW. Begitu pula
tidak ada larangan untuk menghadiahkan pahala membaca Al-Qur’an atau lainnya
kepada orang yang telah meninggaldunia. Bahkan ada beberapa jenis bacaan yang
didasarkan pada hadits shahih seperti
“bacalah surat
Yasin kepada orang mati diantara kamu”. Tidak ada bedanya apakah pembacaan surat Yasin tersebut
dilakukan bersama-sama didekat mayit atau di atas kuburannya, dan membaca
Al-Qur’an secara keseluruhan atau sebagian, baik dilakukan di masjid atau di
rumah.(Al-Syukani, Al-Rasa’il Al-Salafiyyah, hal 46).
Kesimpulan Al-Syukani ini memang
didukung oleh banyak hadits Nabi SAW, diantaranya adalah:
عن
ابي سعيد الخدري قال ول الله صلّى الله عليه سلّم: لا يقعد قوم يذكرون الله عزوجلّ
الاّخفَّتهم الملائكة وغشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده
(رواه مسلم4868
Artinya : dari abi sa’id al-khudri ia berkata, Rasulullah
SAW berkata : tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada ALLAH SWT
kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan ALLAH SWT akan memberikan
rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya dihadapan
makhluk yang ada di sisi-Nya. (HR. Al-Muslim 4868).
Kaitannya
dengan pendapat Imam Syafi’I “dan aku
tidak senang pada ma’tam yakni adanya perumpulan, karena hal itu akan
mendatangkan kesusahan dan menambah beban.” (Al-Umm, juz I, hal. 318).
Perkataan
Imam Syafi’i r.a ini sering dijadikan dasar melarang acara tahlilan, karena
dianggap merupakan salah satu bentuk ma’tam yang dilarang tersebut.
Padahal apa yang dimaksud dengan ma’tam tu tidak sama dengan tahlilan. Ma’tam adalah
perkumpulan untuk meratapi mayit yang dapat menambah kesusahan dan kesedihan
keluarga yang ditinggalkan. (Al-Munjid, 2).
Ma’tam
yang tidak disenangi oleh Imam Syafi’I adalah perkumpulan untuk meratapi
kepergian mayit, yang mencerminkan kesedihan mendalam karena ditinggal oleh
orang yang dicintai, seolah-olah tidak terima apa yang di gariskan oleh ALLAH
SWT. Dan itu sama sekali tidak terjadi bagi orang yang melaksanakan tahlilan
yang didalamya terdapat dzikir dan doa untuk orang yang meninggal dunia,
sehingga lebih tepat jika tahlilan itu disebut sebagai majlis dzikir.
Bagi
keluarga yag ditinggalkan, tahlilan itu merupakan pelipur lara dan penghapus
dosa karena telah ditinggalkan oleh orang yang disayanginya, bukan penambah
kesusahan dan derita. Sebagai bukti, semakin banyak orang yang tahlil, maka tuan
rumah semakin senang, justru tua rumah akan kecewa dan bertambah sedih jika
yang datang untuk tahlilan sangat sedikit. Dalam setiap pelaksanaan tahlilan,
tuan rumah memberikan makanan kepada orang-orang yang mengikuti tahlilan,
selain sebagai sedekah yang pahalanya diberikan kepada keluarga yang sudah
meninggal dunia. Motivasi tuan rumah adalah sebagai penghormatan terhadap tamu
yang turut mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Dilihat dari sisi
sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat
dianjurkan, memberikan makanan kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji.
Kaitannya
dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makan, kebunpun
(harta yang berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit.
Dalam sebuah hadits shahih disebutkan :
عن ابن عباس أنّ رجلاً قال يت رسول الله
إنَّ أمِّي توفيت أفينفعها إن تصدقت عنها قال نعم قال فإنَّ لي مخرفا فأشهدك أنّي
قد تصدقت به عنها (رواه الترميذي 605)
Artinya : Dari Ibnu Abbas,
sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasuluulah SA, sesungguhnya
ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah
untuknya?”, Rasulullah SAW menjawab, “Ya”. Laki-laki itu berkata lagi, “aku
memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan
mempersedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (HR. Tirmidzi [605]).
Ibnu Qayyim al-Jaziyah dengan tegas
mengatakan, bahwa sebaik-baik amal yang dihadiahkan kepada mayit adalah
memerdekakan budak, sedekah, istighfar, do’a, dan haji. Adapun pahala membaca
al-Qur’an secara suka rela dan pahalnya diberikan kepada mayit, juga akan
sampai kepada mayit tersebut. Sebagaimana pahala puasa dan haji. (Ibnu
Qayyim, al-Ruh, hal. 142).
Dan tak kalah pentingnya masyarakat
yang melakukan tahlilan hebdaknya menata niat di dalam hati bahwa apa yang
dilakukan itu semata-mata merupakan karena Allah SWT. Dan jika ada bagian dari
upacara tahilan itu yang menyimpang dari ketentuan syara’ maka tugas ulama’
untuk meluruskannya dengan penuh bijaksana.
Dari
sisi social, keberadaan tradisi tahlilan mempunyai manfaat yang sngat besar
untuk menjalin ukhuwah antar anggota masayarakat. Dalam sebuah penelitian
ilmiah yang dilakukan oleh Zainuddin Fananie MA dan Atiqo Sabardila MA dosen
Universitas Muhammadiyah Surakarta didapat kesimpulan bahwa tahlil merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan keagamaan. Disamping itu,
tahlil juga salah satu alat mediasi yang
paling memenuhi syarat yang bisa dipakai sebagai media komunikasi keagamaan dan
pemersatu umat serta mendatangkan ketenangan jiwa.[1]
Dengan
demikian tahlil yang berisi doa, istighfar, bacaan Al-Qur’an, tasbih, bacaan
laa Ilaha Illaallah dan kalimat toiyyibah lainya merupakan hadiah dari
orang-orang yang masih hidup kepada orang yang telah mati. Adapun juga sebagai
tanda kerukunan antar umat islam yang selalu mendoakan atara muslim satu dan
muslim yang lain.
B. TALQIN
Talqin adalah bentuk mashdar dari
kataلَقَّنَ – يُلَقِّنُ yang dalam bahasa artinya mendikte, megajar
dan memehamka secara lisan atau menuntunarti ini didasarkan pada sabda Rasul
SAW, yaitu :
لقِّنو
موتاكم قول لااله الاالله
Artinya : Talqinlah mayatmu dengan
ucapan LAA ILAAHA ILLALLAH
Sedangkan menurut istilah adalah
adalah mengajari dan menuntun aqidah kepada mayit, dengan harapan si mayit
mampu menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir.
Ada dua jenis talqin yang
di anjurkan dalam islam, yaitu :
A. Talqin pada saat
sakaratul maut
B. Talqin pada saat
jenazah sudah dimakamakan
a) Talqin pada saat
sakaratul maut
Yakni mentalqi orang yang hendak
meninggal dunia sebelum nafasnya sampai ditenggorokan, dan hal itu disunnahkan.
Bimbingan mengucapkan kalimat Laa ilaahaillallah kepada seorang mukmin
supaya dalam akhir hayatnya tetap membawa kalimat Laa ilahaillallah.sebagaimana
pandangan Imam Nawawi, yaitu :
تلقين
المحتضرِ قبل الغرْغرةِ لااله الاالله سنّةٌ للحديثِ فى صحيح مسلمٍ وغيره
"لقنواموتاكم لاالهالاالله واستحبَّ جماعةٌ من اصحابنامعهامحمدٌرسول الله صلّى
الله عليه وسلم, ولمْ يذكرْ الجمهور.
Artinya : Mentalqin ( membimbing untuk membaca kalimat
tauhid ) orang yang aka meninggal dunia sebelum nafasnya sampai ditenggorokan
itu disunnahkan, berdasarka hadits yang terdapat dalam shahih muslim dan
lainya, : talqinlah orang yang aa mti diantara kamu denga ucapan laa
ilahaillallah. Sekelompok shabat Imam Syafi’I menganjurkan ditambahi kata
Muhammad Rasulullah SAW, namun mayoritas
ulama tida perlu ditambah dengan bacaa tersebut. ( Fatawi al-Imam al-Nawawi,
hal. 83).
b) Talqin pada saat
jenazah sudah dimamakan
Imam Nawawi dalam al-Adzkar
menjelaskan bahwa membaca talqin untuk mayit setelah dimakamkan adalah
perbuatan sunnah. [2]
Didasarkan pada sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Umamah :
عن
ابى امامة رضي الله عنه قال
إذاأنا متُّ فاصنعوا بي كماأمرنارسول الله صلى
الله عليه وسلم أن نصنع بموتنا. أمرنا رسول
الله صلى الله عليه وسلم فقال
إذا مات أحد من إخواتكم فسوَّيتم التراب على قبرهِ فليقمْ أحدٌ على رأسِ قبرهِ ثمّ
ليقلْ : يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه
يستوى قاعدا. ثم يقول يا فلان ابن فلانة فإنه يقول : أرشدنا يرحمك الله ولكن لا
تشعرون فليقل اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لااله إلا الله وأن محمد عده
ورسوله وأنك رضيت باالله ربّا وباالاسلام دينا وبمحمد نبيا وباالقرأن إمام فإن
منكرا ونكيرا يأخذ كل واحدٍ منهما بيد صاحبه . ويقول انطلق بنا ما قعدنا عندمن
قدلقّن حجّته . فقال رجل يا رسول االلهِ فإن لم يعرفْ أمّه ؟ قال ينسبه إلى أمّهِ
حوّاء : يا فلان بن حوّاء (رواه
الطبرني فى المعجم الكبير,7979,ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه أحكام
تمني الموت ص9 بدون أي تعليق )
Artinya : Dari
Umamah r.a “jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku
sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang yang wafat diantara kita, seraya
bersabda, “Ketika diantara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu merataka
tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada
bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “wahai fulan bin fulanah”, orang yang
berada dalam kubur pasti mendengar apa yag kamu ucapkan, namun mereka tidak
dapat menjawabnya, kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi,
“wahai fulan bin fulanah”, ketika itu juga si mayit bangkit dan duduk dalam
kuburnya, orang yag berada di atas kuburan itu berucap lagi, “wahai fulan bin fulanah”,
maka si mayit berucap, ”berilah kami petunjuk, dan semoga Allah selalu
memberirahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasaka di
sini). “ (karena itu) hendaklah orang yang berdiri di atas kuburan ituberkata,
“ingatlah sewaktu engkau keluar kea lam dunia, engkau telah bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah hamba serta Rasul Allah,
(kamu juga bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridla menjadikan Allah sebagai
Tuhanmu, Islam sebagai Agamamu, Muhammad sebagai Nabimu, dan Al-Qur’an sebagai
imam (penuntun jalan)mu. (setelah dibacakan talqin ini) malaikat Munkar dan
Nakir saling berpegang tangan sambil berkata, “marilah kita kembali, apa
gunanya kita duduk (untuk bertanya) di muka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah
kemudian berkata, “setelah itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah
SAW , “wahai Rasulullah, bagaiman kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah
menjawab, “(kalau seperti itu) dinisbatkan saja ibu Hawa, “wahai fulan bin
Hawa”. (HR. al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir (7979), Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam
Tamami al-Mawt hal. 9 tanpa ada komentar).
Mayoritas ulam mengatakan bahwa
hadits tentang talqin ini termasuk hadits dlaif, karena ada seorang
perawiya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadlail
al-a’mal, hadits ini dapat digunakan.[3]
Menurut Imam al-Adzra’I :
- Disunnahkan mentalqin mayit yang sudah baligh sesuai dengan firman Allah yang artinya berdzikirlah sesungguhnya dzikir itu memberikan manfaat kepada orang-orang yang beriman.
- Tidak disunnahkan mentalqin mayit anak yang belum baligh karena dia tidak mendapat fitnah di kuburnya, begitu juga orang gila, hal ini diterangkan dalam kitab I’aahal-thalibin juz 2 halaman 140.
Dengan demikian talqin mayit
merupakan hal yang diperintahkan oleh Rasulullah SAW.
C. QUNUT
Dalam madzhab Imam syafi’I ada tiga
tempat disunnatkannya qunut, yakni ketika terjadi nazilah (bencana,
cobaan), qunut pada shalat witir di pertegahan bulan ramadlan, dan terakhir
pada shalat subuh.
Tentang kesunnahan qunut shalat subuh
ditegaskan oleh kebnyakan ulama salaf dan sesudahnya. Diantara ulama salaf yang
mensunnahkan adalah Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib, Ibnu abbas dan Al-Barra’ bin Azib – radliyallahu ‘anhum.
(al-majmu’, juz I, hal. 504).dalil yang dijadikan acuan adalah hadits Nabi
SAW.
عن أنس ابن مالك قال مازال رسول الله صلّى
الله عليه وسلم يقنت فى الفجر حتى فارق الدنيا (رواه احمد 12196)
Artinya: “Diriwayatkan
dari Anas bin Malik r.a, beliau berkata, Rasulullah SAW senantiasa membaca
qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat. “ (HR. Ahmad 12196).
Ada
sebagian kalangan yang beranggapan bahwa membaca do’a qunut ketika subuh adalah
tidak sunnah, bahkan haram hukumnya, karena Rasulullah tidak melaksanakannya.
Dibawah ini telah diuraikan berbagai pendapat dari para ulama’ tentang do’a qunut,
yaitu :
a) Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal,
mereka berpendapat bahwa shalat subuh itu tanpa qunut karena Rasulullah tidak
melakukan hal itu.
عن سعد بن طارق الأشجعيِّ رضي
الله عنه قال قلت لأبي يا أبت إنك قد صلّيت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي
بكر وعمر وعثمان وعليٍّ أفكانوا يقنتون في الفجر؟ قال أي بنيَّ محدث (رواه الخمسة
إلاّ أبا داوود) فمن الحديث النهي عن القنوت في الصبح وبه أخذ أبو حنيفة وأحمد.
(إبانة الأحكام , ج ا ص 134)
Artinya : Dari Sa’id bin Thariq al-A syja’I
ra, ia berkata : aku pernah bertanya kepada ayahku, wahai ayah! Sesungguhnya
engkau pernah mengerjaka shalat di belakang Rasulullah SAW, Abu Bkar, Umar,
Utsman, dan ali. Apakah mereka semua berdo’a qunut ketika shalat subuh? Ayahku
menjawab, qunut itu merupakan perkara yang baru datang (HR. Khamsah kecuali Abu
Daud), dari hadits tersebut tercetuslah hokum berupa
larangan qunut subuh,seperti yang dipegang Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
(Ibanah al-Ahkam, juz I. hal. 431).
b) Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa hokum membaca qunut
shalat subuh termasuk sunnah ab’ad (apabila ditinggalkan maka sunnah melakukan
sujud sahwi). Sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi:
مذهبنا أنه يستحب القنوت فيها
سواء نزلت نازلة أم لم تنزل وبهذا قال أكثر السلف ومن بعدهم أوكثير منهم وممن قال
به أبو بكر الصديق وعمر بن الخطاب وعثمان وعلي وابن عباس والبراّء بن عازب رضي
الله عنهم ( المجموع شرح المذهب ج 3 ص 504)
Artinya : Dalam madzhab kita (madzhab
Syafi’I) disunnahkan membaca qunut dalam shalat subuh, baik ada bala’ (bencana,
cobaan, adzab, dan lain sebagainya), diantaraya adalah Abu Bakar as-Siddiq,
Umar bin Khattab,Utsaman, Ali, Ibnu Abbas dan al-Barra’ bin Azib ra. Al-Majmu’,
juz I, hal 504).
عن أنس بن مالك قال مازال رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقنت في الفجر حتى فارق الدنيا (مسند أحمد بن حنبل رقم
12196)
Artinya : Diriwayatkan dari Anas
bin Malik ra. Beliau berkata : Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika
shalat subuh smpai beliau wafat. (Musnad Ahmad bin Hambal, [12196]).
Pakar hadits al-Allamah Muhammad
bin ‘Allan al-Shiddiqi dalam kitabnya, al-Futuhat al-Rabbaniyah menyatakan
bahwa hadits inilah yang benar, dan diriwayatkan serta di shahih kan oleh segolongan
pakar yag banyak hafal hadits. Diantara orang yang menyatakan keshaihan
hadits ini adalah al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Bakhli, al-Hakim
dalam kitab al-Mustadrak, dan di beberapa tempat yang ditulis oleh
al-Baihaqi. Al-Daruqhutni juga meriwayatkan dari beberapa jalur dengan berbagai
sanad yang sahih. (al-Futuhat al-Rabbaniyah ‘ala al-adzkar
al-Nawawiyah, juz II, hal. 268).
Sedangkan redaksi do’a qunut yang
warid(diajarkan langsung) oleh Nabi Muhammad SAW adalah :
اللهمّ
اهدنا فيمن هديت, وعافنا فيمن عافيت, وتولنا فيمن توليت, وبارك لنا فيما أعطيت,
وقنا شرما قضيت, فإنك بقضي ولا يقضى عليك, وإنه لايذل من واليت, ولا يعزمن عاديت,
تباركت ربناوتعاليت, فلك الحمد على ما قضيت, نستغفرك وأتوب إليك,
(رواه النساء 1725, وأبو داوود 1214, والبرميذي 426, وأحمد 1625, والدارمى 1545,
بسند صحيح).
Artinya : Ya Allah, berikanlah
kami petunjuk seperti orang-orang yang telah engkau beri petunjuk, berikanlah
kami perlindungan seperti orang-orang yang engkau beri perlindungan, berikanlah
kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang engkau berikan pertolongan,
berikanlah berkah pada segala yang Engkau berikan kepada kami, jauhkanlah kami
dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan, sesungguhnya Engkau dzat yang
maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan, tidak akan hina orang yang
Engkau lindungi, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi, Engkau maha
suci dan maha Luhur, segala puji bagimu atas segala yang Engkau pastika, kami
mohon ampun dan bertaubat pada-Mu. (HR. al-Nasa’I [1725], Abu Dawud [1214],
al-Tirmidzi [426], Ahmad [1625], dan al-Darimi [1545] dengan sanad yang
shahih).
Larangan qunut tersebut di atas
dikomentari oleh Imam al-Sathi, dia berkata : Dasar hadits yang kemudian
dikataka bahwa qunut itu perkara yang baru datang, tidak bisa di jadikan
sebagai alas an untuk melarang qunut. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh :
يقدم
المثبت على النافي لاشتماله على زيادة علم ( شرح نظم جمع الجوامع ج 2 ص 475)
Artinya : Dalil yang menjelaskan
adanya (terjadiya) suatu perkara, didahului oleh dalil yang menyataka bahwa
perkara tersebut tidak ada. Sebab adanya penjelasan pada suatu dalil,
menunjukkan adanya pemberitahuan (ilmu) yang lebih pada dalil tersebut.
(Syarah Nadzam jam’ul Jawami’, juz II, hal. 475).
Di dalam madzhab Syafi’I sudah di
sepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’itidal raka’at kedua
adalah sunnat ab’ad dalam arti diberi pahala bagi orang yang melaksanakannya
dan bagi yang lupa disunnatkan menambahnya denga sujud sahwi.
Dalam kitab al-Ulum jilid I/205
disebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata :
ولا
قنوت في شيء من الصلوات الاّ الصبح إلاّ أن تنزل نازلة فيقنت في كلها ان شاء
الإمام
Artinya : “tidak ada qunut pada
shalat lima
waktu selain shalat subuh, kecuali jika teradi bencana, maka boleh qunut pada
semua shalat jika imam menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahali berkata
dalam kitab al-Mahali jilid I/157:
ويسنّ
القنوت في اعتدال ثانية الصبح وهو اللهمّ اهدني فيمن هاديت إلى اخره...
Artinya : Disunnahkan qunut pada
I’tidal raka’at kedua dari shalat subuh dan dia adalah “ alloohummah dinii
fiiman haadait … hingga akhirnya.
A. Dalil-dalil Kesunnatan Shalat Subuh
Berikut
ini dikemukakan dalil-dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Hadits dari Anas ra :
انّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم قنت
شهراً يدعو عليهم ثمّ ترك فأمّا في الصبح فلم يزل يقنت فارق الدنيا
Artinya : Bahwa Nabi SAW pernah
qunut selam satu bulan sambil mendo’akan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi
meninggalkannya. Adapun shalat subuh, maka Nabi senantiasa melakukan qunut
hingga beliau meninggal.
Hadits ini diriwayatkan oleh
sekelompok huffadz dan mereka juga ikut menasihkannya. Diantara ulam yang
mengakui kesahihan hadits ini adalah Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Balkhi
dan al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di dalam kitabnya serta Imam
Baihaqi. Hadits ini diriwayatkan juga oleh Daruquthni dari beberapa jalan denga
sanad-sanad yang sahih.
b. Hadits dari Awam bin Hamzah daimana beliau berkata :
سئلت أبا عثمان عن القنوت في الصبح قال بعد
الرّكوع قلت عمّن قال عن إبي
بكر و عمر و عثمان رضي الله تعالى عنهم (رواه البيهقي)
Artinya : Aku bertanya kepada
Utsman tentang qunut pada shalat subuh. Beliau berkata : “Qunut itu sesudah
ruku’. Aku bertanya : ”Fatwa siapa?”. Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar
dan Utsman radliyallahu ‘anhuhm”.
Hadits
ini riwayat Baihaqi dan beliau berkata : “isnadnya hasan”. Dan Baihaqi juga
meriwayatkan hadits ini dari Umar dengan beberapa jalan.
c. Hadits dari Abdullah bin Ma’qil al-Thabi’I :
قنت علي رضي الله في الفجر (رواه البيهقي)
Arinya : Ali ra.”Qunut pada shalat subuh”
Diriwayatkan
oleh Baihaqi beliau berkata : “hadits tentang Ali ini sahih lagi masyhur”.
d. Hadits dari Barra’ ra :
انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كان
يقنت في الصبح والمغرب (رواه مسلم)
Artinya
: Bahwa Rasulullah SAW melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib.
Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penuyebutan shalat maghrib,
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa
meninggalkan qunut pada shlat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib
atau karena ijma’ ulama’ telah menunujukkan bahwa qunut pada shalat maghrib itu
sudah mansukh yakni terhapus hukumnya”.
e. Hadits Dario Abi Rofi’ :
انّ عمر قنت في الصلاة الصبح بعد الركوع (رواه
البيهقي)
Artinya : umar
melakukan pada shalat subuh sesudah ruku’
Demikianlah beberapa hadits yang
dipakai oleh ulama-ulama Syafi’iyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut
subuh.
B. Tempat Qunut Sesudah atau Sebelum Ruku’
Tersebut
dalam al-Majmu’ jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah
mengangkat kepala dari ruku’, ini adalah ucapan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin
Khattab dan Utsman serat Ali radliyallohu ‘anhum”.
Merngenai
dalil-dalil qunut sesudah ruku’ :
a. Hadits dari Abu Hurairah :
انّ النّبي صلّى الله عليه وسلم قنت بعد
الركوع (رواه البخارى و مسلم)
Arinya : Bahwa Nabi SAW qunut
sesudah ruku’ (HR. Bukhari Muslim)
b. Hadits dari Ibnu Sirih, beliau berkata :
قلت لأنس قنت رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم في الصبح قال نعم بعد الركوع يسيرا (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Aku berkata kepada Anas
: apakah Rasulullah SAW melakukan qunut pada shalat subuh? Anas menjawab : Ya,
begitu selersai ruku’ (HR. Bukhari Muslim)
c. Hadits dari Anas ra :
انّ النبي صلّى الله عليه وسلم قنت شهرا
بعد الركوع في الفجر يدعوا على بنى عصيّة (رواه البخارى و مسلم)
Artinya : Bahwa anbi SAW melakukan
qunut selama satu bulan sesudah ruku’ pada shalat subuh sambil mendo’akan
kecelakaan atas Banio Ushayyah. (HR. Bukhari Muslim)
d. Hadits ini dari Awam bin Hamzah dan Rofi’ yang sudah
disebutkan pada dalil bagian b dan e tentang kesunnatan qunut subuh.
e. Riwayat dari Ashim al-Ahwal dari Anas :
انّه اقتى با القنوت بعد الركوع
Artinya
: Bahwa Anas berfatwa tentang qunut sesudah ruku’
f. Hadits dari Abu Hurairah ra, beliau berkata :
كان رسول الله صلّى الله عليه وسلم اذا رفع
رأسه من الركوع في صلاة الصبح في الرّكعت الثانية رفع يديه فيدعو بهذالدعاء اللهمّ
اهدني فيمن هاديت تاى اخره (رواه الحاكم و صحّحه)
Artinya : Rasulullah SAW jika
beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at kedua shalat subuh beliau
mengangkat kedua tangannya lalu berdo’a : “Alloohummahdinii fiiman hadait
hingga akhirnya”. (HR. Hakim dan dia menasihkannya).
g. Riwayat dari Salim dari Ibnu Umar :
انّه سمع رسول الله صلّّى الله عليه وسلم
اذا رفع رأسه من الركوع في الركعة الأخيرة من الفجر يقول اللهم العن فلانا و فلانا
بعد ما يقول سمع الله لمن حمده ربّنا ولك الحمد فأنزل الله تعالى ليس لك من الأمر
شئ او يتوب عليهم او يعذبعم فإنهم ظالمون (رواه البخارى)
Artinya : Bahwasanya ibnu Umar
mendengar Rasulullah SAW apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada
raka’at terakhir shalat subuh, beliau berkata : “Ya Allah ! laknatlah si fulan
dan si fulan!”, sesudah beliau mengucapkan sami’allahuliman hamidah rabban
walakal hamdu. Maka Allah menurunkan ayat “Tidak ada bagimu sesuatupun dari urusan
mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka atau juga daripada
pengazaban mereka sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
(HR. BUkhari).
Hadits ini dan juga hadits bagian c
menunjukkan qunut nazilah yang pernah dilakukan oleh Nabi. Qunut nazilah adalah
qunut ketika turun bencan baik itu bencana peperangan, pembunuhan dan
bencana-bencana lainnya.
Terlihat jelas bahwa pada qunut
nazilah pun Nabi melakukannya sesudah ruku’ seperti halnya qunut subuh. Memang
ada dijumpai beberapa hadits yang menunjukkan pelaksanaan qunut sebelum ruku’
namun terhadap hal tersebut Imam Baihaqi mengatakan sebagaimana tersebut dalam
al-Majmu’ :
ورواة
القنوت بعد الركوع اكثر واحفظ فهو اولى وعلى هذا درج الخلفاء الراشدون رضي الله
عنهم في اشهر الروايات عنهم واكثرها والله اعلم
Artinya : Dan orang-orang yang
meriwyatkna qunut sesudah ruku’ lebih banyak dan lebih kuat menghafal
hadits,maka dialah yang lebih utama dan inilah jalannya para khalifah yang
memperoleh petunjuk – semoga Allah meridloi mereka- pada sebagian besar riwayat
dari mereka, wallohu a’lam.
C. Hokum Mengangkat tangan pada waktu qunut
Dalam
masalah ini ada dua pendapat :
a. Tidak disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut.
Pendapat ini dipilih oleh as-Syairozi, al-Qaffal dan al-Baghawi serta
dihikayatkan oleh Imam Haramain dari mayoritas sahabat Syafi’i. Alasan mereka :
“karena do’a di dalam shalat tidak pakai mengangkat tangan seperti do’a sujud,
do’a tasyahud dan do’a iftitah.
b. Disunnatkan mengangkat tangan pada waktu qunut. Pendapat
inilah yang disahihkan dikalangan madzhab Syafi’I dan dialah pilihan Abu Dawud
al-Marzawi, al-Qadhi Abu Tayyib di dalam ta’liqya dan dalam al-Minhaj, Syaikh
Abu Muhammad, Ibnu Sabbagh, al-Mutawalli, al-Ghazali, Syaikh Nasrun al-Maqdisi
dalam tiga kitabnya yakni al-Intikhab, at-Tahzib dan al-Kafi, begitu juga
dengan para ulam yang lain, pengarang al-Bayan berkata : “inilah pendapat
mayoritas ulam-ulam Syafi’I”. Imam Hafiz Abu Bakar al-Baihaqi yang merupakan
ulam ahli fiqih dan hadits juga memilih pendapat ini dan beliau berhujjah
dengan riwayat Anas ra sewaktu menceritakan para qurro’ yang terbunuh. Anas
berkata :
لقد رأيت رسول الله صلّى الله عليه وسلم
كلّما صلّى الغداة يرفع يديه يدعوا عليهم يعني على الّذين قتلوهم (هذا إسناده صحيح
او حسن)
Artinya : Sesungguhnya aku melihat
Rasulullah SAW setiap kali beliau shalat subuh, beliau mengangkat kedua
tangannya sambil mendo’akan kecelakaan atas mereka yakni orang-orang yang membunuh
para qurro’.(hadits ini isnadnya sahih atau hasan).
Dengan
demikian dapatlah ditarik satu
kesimpulan bahwa pendapat yang sahih dikalangan Imam Syafi’I adalah :
”sunnat mengangkat tangan pada waktu qunut, baik itu qunut subuh, qunut nazilah
maupun qunut witir di pertengahan bulan ramadlan sebagaimana yang di jelaskan
berikutnya”.
Adapun megusap wajah sesudah qunut,
maka menurut pendapat yang sahih tidak disunnahkan. Dalam Majumu’ III/501 Imam
Baihaqi mengatakan : “Aku tidak pernah menghafal dari seorang ulam salaf
perihal mengusap wajah sesudah qunut walaupun mengusap wajah itu ada
diriwayatkandari sebagian mereka pada waktu berdo’a di luar shalat. Adapun di
dalam shalatr, maka mengusap wajah adalah satu perbuatan yang tidak ada
keterangnannya baik dari hadits, atsar maupun qiyas, maka yang utama adalah
tidak mengerjakannya dan mencukupkan saja dengan apa yang dinukil dari para
ulam salaf yakni “mengangkat tangan dengan tanpa mengusap wajah”.
D. BILANGAN SHALAT TARAWIH
Tarawih adalah salah satu ibadah yang disunnahkan oleh
Rasulullah SAW pada bulan Ramadlan, dilaksanakan setelah Isya’ dan di akhiri
dengan witir.
Dari Abu Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia
pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Bagaimana shalat
malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan?”.
‘Aisyah mengatakan,
مَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى
غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya
: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah
raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat
lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738).
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau
menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat
bersama kami di bulan Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada
malam berikutnya, kami pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan
keluar. Kami terus menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar.
Kemudian kami menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami
menunggumu tadi malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya
shalat tersebut menjadi wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban
dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan.
Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21).
Mengenai bilangan jumlah shalat
tarawih, ulama berbeda pendapat :
- menurut Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Imam Hmad, dan Imam Dawud sebanyak 20 raka’at dengan 10 salaman selain witir dan setiap 4 raka’at 2 salaman melakukan istirahat. Berdasarkan riwayat Imam Baihaqi dan lainnya dengan sanad yang sahaih.
- menurut al-Qodli ‘Iyadh danri jumhur ulama diceritakan, sesungguhnya sahabat ashwat bin mazid mengerjakan shalat tarawih sebanyak 40 raka’at dan shalat witir sebanyak 7 raka’at.
- menurut Imam Mlik sebanyak 36 rakaat selin witir, dengan alas an karena ahli madinah mengerjakan shalat tarawih denga bilangan ini.
- menurut Imam Nafi’ sebanyak 39 raka’at (36 shalat tarawih dan 3 shalat witir).
Keterangan
dalam kitab al-Majmu’ Syarah Muhadzab bab Shalat at-Tathawu’, juz 4, hal. 38,
keterangan mengenai khilaf bilangan
shalat tarawih ini juga diterangkan da;lam kitab Mizan al-Kubra, juz I, hal.
184.
(فرع) في مذاهب العلماء في عدد ركعات
التراويح* مذهبنا أنها عشرون ركعة بعشر تسليمات غير الوتر وذالك خمس ترويحات
والترويحة أربع ركعات بتسليمتين هذا مذهبنا وبه قال ابوحنيفة وأصحابه وأحمد وداوود
وغيرهم ونقله القاضى عياض عن جمهور العلماء وحكي ان الأسود بن مزيد كان يقوم
بأربعين ركعة ويوتر بسبع وقال مالك التراويح تسع ترويحات وهي ستة وثلاثون ركعة غير
الوتر واحتج بأن أهل المدينة يفعلونها هكذا . وعن نافع قال أركت الناس وهم يقومون
رمضان بتسع وثلاثين ركعة يوترون منها بثلاث * واحتج أصحابنا بما رواه البيهقى
وغيره بلإسناد الصحيح (المجموع شرح المذهب باب صلاة التطوع الجوز 4 ص 38)
Lebih
lanjut dalam kitab Subul
al-Salam ada salah satu hadits Nabi yang berbunyi :
عن إبن عباس قال أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم كان يصلى في رمضان عشرين ركعت الوتر
Artinya :Diceritakan dari Ibnu
Abbas ra : sesungguhnya Ibnu Abbas berkata : Rasulullah SAW mengerjakan shalat
tarawih 20 raka’at dan shalat witir dibulan Ramadlan. (Subul al-Salam, juz
II, hal. 10).
عن مالك عن يزيد بن رومان أنه قال كان
الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثالث وعشرين ركعة.
Artinya : Diceritakan dari Malik
dari Yazid bin Rumman. Dia berkata : manusia dimasa Umar bin Khattab telah
melakukan shalat tarawih 23 raka’at di bulan ramadlan. (Tanwir al-Hawalik,
hal. 138).
Setelah
penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23
raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan
shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana
banyak dipilih oleh
mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Artinya : “Sebaik-baik shalat adalah
yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
Artinya : “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas
dalam kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.”
Sebagian ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah
shalat yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan
sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim,
49/3, Asy Syamilah), Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at
dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu
nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai
dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih
dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Hujjah daripada Imam-imam Madzhab yang empat sehingga
memfatwakan bahwa rakaat shalat tarawih itu 20raka’at adalah sebagai berikut :
a. hadits riwayat Baihaqi dan selainya dengan isnad yang sorih lagi
sahih dari Sa’ib bin Yazid, seorang
sahabat Nabi yang terkenal dimana beliau
berkata :
كانوا
يقومون على عهد عمر ابن الخطّاب –رضي الله عنه- في شهر رمضان بعشرين ركعة
Artinya : Para
sahabat melakukan shalat tarawih dimasa Umar bin Khattab ra pada bulan ramadlan
dengan dua puluh raka’at.
b. Hadits
riwayat Imam Malik dalam al-Muwattho’ dan juga riwayat Imam Baihaqi dari Yazid
bin Ruman, beliau berkata :
كان
النّاس يقومون في زمن عمر ابن الخطّاب –رضي الله عنه- بثلاث وعشرين ركعة
Artinya : para sahabat
melakukan ibadah malam dizamannya Umar bin Khattab ra dengan duapuluh tiga
raka’at.
Yakni duapuluh raka’at tarawih
dan tiga raka’at witir.
c. Hadits
riwayat al-Hasan
اّن
عمر –رضي الله عنه – جمع الناس على ابيّ بن كعب فكان يصلّى لعم عشرين ركعة ولا
يقنت بهم إلاّ فى النّصف الثّاني فإذا كان العشر الأواخر من رمضان تخلّف ابيّ
فصلّى في بيته فكانو يقولون : ابق ابيّ
Artinya : Bahwasanya Umar
ra mengumpulkan orang-orang dibelakang Ubay bin Ka’ab lalu beliau mengimami
mereka shalat tarawih 20 raka’at, beliau beserta segenap jama’ah tidak
melakukan qunut kecuali pada pertengahan ramadlan yang kedua, apabila sepuluh
yang terakhir pada bulan ramadlan telah tiba, maka beliau tidak keluar (ke
masjid), beliau melakukan shalat dirumah sehingga orang-orang pada berkata :
“Ubay bin Ka’ab telah melarikan diri”.
Ibnu qudomah didalam kitabnya al-Mughni mengatakan bahwa
telah terjadi ijma’ yakni kesepakatan para ulama mujtahid mengenai shalat
tarawih 20 raka’at. Beliau menolak Imam Malik yang mengatakan di dalam
riwayatnya yang kedua bahwa shalat tarawih itu 36 raka’at. Beliau berkata :
“Qiyamullail di bulan ramadlan yakni shalat tarawih adalah 20 raka’atdan
hukumnya sunnah mu’akkadah”. Beliau juga berkata :
والمختارعند ابي عبد الله رحمه الله – يريد
احمد بن حنبال – فيها عشرون ركعة وبهذا قال الثوري وابو حنيفة والشافعي وقال مالك
ستّة وثلاثون ركعة وتعلّق بفعل اهل المدينة
Artinya : Pendapat yang
terpilih menurut Abu Abdillah yakni Ahmad bin Hammbal adlah bahwa shalat
tarawih itu 20 raka’at, inilah juga pedapat Imam Tsauri, Imam Abu Hanifah dan
Imam syafi’i. adapun imam Malik (dalam riwayatnya yang kedua) berkata bahwa
tarawih itu 36 raka’at. Hal ini karena berdasarkan pada amalan penduduk
Madinah.
Selanjutnya beliau berkata : “Andai bisa ditetapkan
bahwa penduduk Madiah selalu melakukan shalat tarawih 36 raka’at namun apa yang
telah dilakukan oleh sahabat Umar dan disepakati pula oleh para sahabat yang
lain dimasa beliau adalah lebih utama untuk diikuti”.
Sebagian ahli ilmu berkata bahwa sebabnya penduduk
madinah melakukan yang demikian hanyalah karena mereka ingin mengimbangi shalat
tarawihnya penduduk makkah. Penduduk mekkah selaluy melakukan tawaf tujuh
putaran setiap selesai satu tarawih (yakni 4 raka’at atau 2 kali salam). Maka
penduduk madinah mengganti dengan satu thawaf yang tidak bisa mereka lakukan di
madinah itu dengan tarawih 4 raka’at, karena penduduk mekkah itu dengan satu
kali tarawih melakukan 4 kali thawaf yakni sampai tarawih yang keempat (adapun
pada tarawih yang kelima yakni yang terakhir mereka tidak melakukan thawaf karena langsung shalat witir), maka penduduk
madinahpun menambah raka’at tarawih mereka sebanyak 16 raka’at (yakni 4 x 4)
sehingga keseluruhan shalat tarawih mereka menjadi 36 raka’at. Namun demikian
ditekankan sekali lagi bahwa apa yang dilakukan oleh sahabat Nabi adalah lebih
utama dan berhak untuk diikuti.
Dengan demikian shalat tarawih
sunnah dilaksanakan denga berjama’ah, jumlah raka’atnya menurut kebanyakan
ulama’ adalah 20 raka’at (10 salam) ditambah 3 raka’at shalat witir.
E. ADZAN DUA KALI DALAM SHALAT JUM’AT
Pelaksanaan
shalat jum’at umumnya diawali dengan adanya adzan pertama sebagai tanda
masuknya waktu dhuhur dan adzan kedua mengiringi khutbah. Bagaimanakah dasar
pelaksanaan dua adzan sebelum shalat jum’at tersebut ?
Dalil
yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat Al-Jum’at ayat 9:
يا
أيها الذين آمنوا إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع
ذالكم خير لكم ان كنتم تعملون
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat, maka bersegaralah
kamu kepada mengingat Allah Swt. Dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Jum’at).
Dua
adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada
zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah
penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas
perdagangan dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin
pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam diatas
mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan
pertimbangan diatas, maka sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain
yang tinggi (menara). Hal ini menerangkan dalam kitab Shahih Bukhari :
عن
الزهرى قال سمعت السائب بن يزيد رضي الله عنه يقول ان الاذان يوم الجمعة كان اوله
حين يجلس الامام يوم الجمعة على المنبر في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وابي بكر
وعمر رضي الله عنهما فلما كان في خلافة عثمان رضي الله عنه وكثروا امر عثمان يوم
الجمعة بالاذان الثالث فأذن به على الزوراء فثبت الامر على ذالك
“dari Al-Zuhri, ia
berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata, sesungguhnya
pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw. Sahabat Abu Bakar
dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan krtika imam duduk diatas mimbar.
Namun ketika masa Khalifah Utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau
memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga..adzan tersebut dikumandangkan
diatas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang. (shahih Bukhari, juz I hal.315 hadits
nomor 916).
Dalam kitab Fathul Mu’in menerangkan :
ويسن
اذانان لصبح واحد قبل الفجر واخره بعده فان اقتصر فالاولى بعده واذانان للجمعة
احدهما بعد صعود الخطيب المنبر والاخر الذي قبله
“disunnahkan
adzan dua kali untuk shalat subuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika
hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan
sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke
mimbar dan yang kedua sebelumnya. (Fathu Al-Mu’in, hal. 15).
Dalam
kitab Tanwir al- Qulub :
قال
في تنوير القلوب مانصه – فلما كثر الناس في عهد عثمان أمرهم بآذان آخر على الزوراء
واستمر الامر الى زماننا هذا ,وهذا الاذان ليس من البدع لانه فى زمان الخلفاء
الراشدين لقوله عليه الصلاة والسلام : فعيكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين
“Didalam
kitab tanwir ada teks sebagai berikut : ketika kaum muslimin berkembang menjadi
cukup banyak dizaman utsman, ia memerintahkan mereka melaksanakan adzan lain di
zaura’, dan perintah itu berlaku hingga zaman sekarang. Adzan ini bukan bid’ah
(amal diluar agama) karena praktikini sudah ada dizaman Khulafa’al-Rasyidin. Ada sabda Rasul yang
menegaskan : kalian hendaknya tetap berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah
Khulafa’ al-Rasyidin”.
Dalam kitab Mawahib al-Laduniyyah :
ثم ان
فعل عثمان رضي الله عنه كان اجماعا سكوتيا لانهم لاينكرونه عليه
“Apa yang dilakukan dizaman Utsman
sudah menjadi ijma’ sukuti kaum muslimin karena mereka tidak dapat menolaknya”.
Dengan demikian disunnahkan adzan dua
kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan
adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad
Sayyidina Utsman ra. Dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam
shalat jum’at. Kesimpulannya adalah adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan
merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat
dari salah satu sumber hokum Islam yakni ijma’ para sahabat.
F. MENGUCAPKAN
USHOLLI DALAM NIAT SHALAT
a. Mengucapkan niat dengan lisan
Telah
kita ketahui bersama bahwa niat dalam beribadah itu memiliki arti yang sangat
penting, oleh karena itu dalam setiap ibadah harus selalu diikuti dengan niat,
karena tanpa adanya suatu niat dalam ibadah dianggap tidak sah, sekalipun
kedudukan niat terdapat di dalam hati. Dasarnya ialah hadits Nabi SAW, riwayat
Muslim, dari Umar bin Khattab, katanya :
إنّما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ
مانوى
Artinya
: sesungguhnya segala amal perbuatan itu menurut niatnya dan sesungguhnya
bagi setiap orang adalah kebaikan apa yang telah mereka niatkan.[4]
Akan tetapi jika niat tersebut
diucapkan dengan lisan, maka hukumnya adalah boleh, sebab sifatnya hanya
sebagai penolong supaya hati dan mulut menjadi satu kata. Dari factor inilah,
kaum Nahdliyin mempraktekkannya dengan cara tiga pekerja dikerjakan sekaligus,
yaitu :
1) Mulutnya mengucapkan usholli dengan suara yang bisa
didengar oleh telinganya sendiri
2) Hatiya berniat untuk mengerjakan shalat
3) Kedua tangannya diangkat dengan membaca takbir
Bahkan
dalam membaca usholli terkadang dilakukan berkali-kalidengan harapan untuk
mencari kemantapan diri.[5]
Dari kasus amaliah sepreti itulah
muncul fenomena di masyarakat bahwa jika ada orang shalat lalu terdengar suara
usholli, dapat dipastikan orang tersebut termasuk kaum Nahdliyin.
b. Hukum Mengucapkan Niat Dengan Lisan dan Dasar Amaliyah
Adapun
dasar dalam niat setiap beribadah adalah wajib. Dasarnya ialah ayat Al-Qur’an
dan hadits Nabi SAW sebagai berikut :
وما أمروا إلاّ ليعبد الله مخلصين له الدين
حنفاء
Artinya: Padahal mereka tidak
diperintah kecuali hanya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatannya hanya
kepada-Nya dalam agama secara lurus. (al-bayyinah: 5)
1) Hadits riwayat Ibnu Majjah dari Abu Hurairah RA, yaitu :
إنما يبعث الناس على نيّاتهم
Artinya:
Sesungguhnya manusia itu akan dibangkitkan menurut niatnya.[6]
2) Hadits riwayat muslim, dari Anas, yaitu :
عن أنس رضي الله عنه قال سمعت رسول الله
صلى الله عليه وسلم يقول لبيك عمرة وحجاّ
Artinya:
dari Anas, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW mengucapkan labbaika
aku sengaja mengerjakan umroh dan haji[7]
Adapun hokum melafalkan niat dalam
lisan dengan suara yang cukup didegar sendiri adalah sunnah, sebagaimana
komentar para ahli hokum islam dalam kitab-kitab sebagai berikut:
a. Kitab al-Asybah wa al-Nadlair, yaitu:
من عزم على المعصية ولم يفعلها أوْلم يتلفّظْ
بها لايأثم لقوله صلّى الله عليه وسلم إنّ الله تجاوز لأمّيى ما حدّثت به نفوسها
ما تتكلم أو تعمل به
Arinya:
Siapa berniat berbuat ma’siyat tapi belum mengerjakannya atau belum
mengucapkannya, ia tak berdosa, sebab rasul bersabda : Allah memaafkan umatku
selama hatinya baru niat, belum diucapkan, atau belum dikerjakan.[8]
b. Kitab Mizan li al-Sya’raniy, yaitu :
ومن ذالك قول الامام ابي حنيفة واحمد انه
يجوز تقديم النّية على التكبير بزمان يسير مع قول مالك والشافعي بوجوب مقارنتها
لتكبير وانّها لا تجوئ قبله ولا بعده ومع قول القفّال امام الشفيعيّة ربّما قارنت
النيّة ابتداء التكبير انعقدت الصلاة
Artinya:
Berdasarkan alas an hadits di atas juga Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata:
sesungguhnya boleh mendahulukan niat atas takbir asal saja belum lama. Akan
tetapi bagi Imam Malik dan Imam Syafi’I mewajibkan bersamaan antara niat dan
takbir. Tetapi bagi Imam Qaffal (pengikut Syafi’iyah) niat pada awal takbir itu
sah.[9]
c. Kitab Nihayah al-Mukhtaj, yaitu:
ويندب النطق باالمنوي قبيل التكبير ليساعد
اللسان القلب ولأنه ابعد عن الوسواس
Artinya:
disunnahkan hokum mengucapkan apa yang diniati (seperti kalimat USHOLLI)
sebelum takbirotul ihram, supaya lisan bisa membantu hati, sehingga bisa
terhindar dari was-was.[10]
-
Niat berbuat baik sudah dinilai sebagai amal kebaikan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا
كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ
“Barang
siapa yang berhasrat melakukan kebaikan lalu dia belum mengerjakannya maka
dicatat baginya satu kebaikan. “ (HR. Muslim, 1/118, dari Abu Hurairah).
Imam
Al Ghazali Rahimahullah mengatakan:
فَالنِّيَّةُ فِي نَفْسِهَا خَيْرٌ وَإِنْ
تَعَذَّرَ الْعَمَل بِعَائِقٍ
Artinya
: “Maka, niat itu sendiri pada dasarnya sudah merupakan kebaikan, walau pun
dia disibukkan oleh uzur untuk melaksanakannya.” (Ihya ‘Ulumuddin, 4/352)
-
Besar atau kecilnya perbuatan di mata Allah Ta’ala tergantung niatnya
Berkata
Imam Al Ghazali:
إِنَّ النِّيَّةَ تُعَظِّمُ الْعَمَل
وَتُصَغِّرُهُ ، فَقَدْ وَرَد عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ : رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ
تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
َ
“Sesungguhnya niat dapat membesarkan dan
mengecilkan amal. Telah diriwayatkan dari sebagian salaf: bisa jadi ada amal
kecil yang menjadi besar karena niatnya, dan bisa jadi ada amal besar menjadi
kecil karena niatnya.” (Al Ihya, 4/353)
Hal
ini didasarkan pada hadits:
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat
seorang mu’min lebih baik dari pada amalnya.” (HR. Ath Thabarani Dalam Al
Mu’jam Al Kabir, 6/185-186, dari Sahl bin Sa’ad As Saidi. Imam Al Haitsami
mengatakan: “ Rijal hadits ini mautsuqun (terpercaya), kecuali Hatim bin ‘Ibad
bin Dinar Al Jursyi, saya belum melihat ada yang menyebutkan biografinya.”
Lihat Majma’ Az Zawaid, 1/61)
-
Pertolongan Allah Ta’ala sejauh kadar niatnya
Imam
Al Ghazali mengatakan:
“Salim
bin Abdullah telah menulis surat
kepada Umar bin Abdul Aziz: “Ketahuilah bahwa pertolongan Allah Ta’ala bagi
hambaNya tergantung kadar niatnya. Barang siapa yang niatnya utuh maka
sempurnalah pertolongan Allah untuknya, dan jika niatnya berkurang maka
berkurang pula pertongan Allah sesuai berkurangnya niat. ” (Al Ihya’, 4/353)
Jika Lisan dan Hati berbeda maka yang
diinilai adalah yang di hati bukan di lisan, Jika lisan seseorang berbeda
dengan hatinya, maka hatinyalah yang dinilai. Syaikh Wahbah Az Zuhaili
Hafizhahullah menjelaskan:
وإن تلفظ بلسانه ولم ينو بقلبه لم يجزئه.
وإن نوى بقلبه ، ولم يتلفظ بلسانه أجزأه.
Artinya
: “Dan, jika lisannya melafazkan tapi hati tidak berniat maka itu tidaklah
mencukupi (baca: tidak sah). Jika berniat di hati, tetapi tidak dilafazkan di
lisannya, maka sudah mencukupi (sah).” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
1/138)
Syaikh
Wahbah Az Zuhaili juga menambahkan (saya ringkas), bahwa jika berbeda antara
lisan dan hati maka yang di hatilah yang dinilai. Seandainya seseorang di
hatinya berniat untuk wudhu, sementara lisannya mengatakan ingin kesejukan,
maka wudhu tetap sah, dan jika dibalik maka menjadi tidak sah. Begitu pula jika
di hatinya niat zhuhur, di lisannya ashar, atau di hatinya haji namun di
lisannya umrah, atau sebaliknya, maka yang di hatilah yang sah. Di dapatkan
pada sebagian kitab kalangan Hanafiyah (Al Quniyah Al Mujtaba): bahwa jika
seorang tidak mampu menghadirkan niat di hatinya atau ada keraguan di hatinya
maka cukup baginya mengucapkan secara lisan, karena Allah Ta’ala berfirman:
Allah tidaklah membebani seseorang di luar kemampuannya. (Al Baqarah (2): 286)
Jika lisan seseorang dalam melafazkan sumpah kepada Allah
Ta’ala mendahului niatnya, maka menurut jumhur (mayoritas ulama) kecuali
menurut kalangan Hanafiyah, sumpahnya itu tidaklah mengikatnya, itu hanyalah
sumpah secara bahasa yang tidak ada kiffarah atasnya.
Sejak berabad-abad lamanya, umat Islam mulai dari ulama
hingga kaum awamnya, berpolemik tentang melafazkan niat (At Talafuzh An Niyah),
seperti lafaz niat hendak shalat: ushalli fardha subhi rak’ataini mustaqbilal
qiblati ada’an lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak wudhu: nawaitu wudhu’a
liraf’il hadatsil asghari lillahi ta’ala, atau lafaz niat hendak berpuasa
Ramadhan: nawaitu shaama ghadin an ada’i fardhusy syahri Ramadhana haadzihis
sanati lillahi ta’ala, dan lainnya. Di negeri ini, kalimat-kalimat ini sering
diajarkan dalam pelajaran agama di sekolah-sekolah dasar, umumnya pesantren,
dan forum-forum pengajian. Polemik
ini bukan hanya terjadi di negeri kita, tapi juga umumnya di negeri-negeri
Muslim. Di antara mereka ada yang membid’ahkan, memakruhkan, membolehkan,
menyunnahkan, bahkan mewajibkan (namun yang mewajibkan adalah pendapat yang
syadz –janggal lagi menyimpang).
Di sisi lain, tidak ada perbedaan pendapat
tentang keberadaan niat di hati dalam melaksanakan ibadah. Mereka juga sepakat
bahwa melafazkan niat tidaklah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, para sahabat, dan tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Perbedaan mereka adalah dalam hal
legalitas pengucapan niat ketika ibadah.
Menurut Pendapat Madzhab
Sebelumnya, mari kita tengok bagaimana
pandangan para ulama madzhab tentang melafazkan niat dalam beribadah ritual.
Pendapat kalangan
Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) berdasarkan pendapat yang dipilih, dan
Syafi’iyah (pengikut imam Asy Syafi’i) serta Hanabilah (Hambaliyah-pengikut
Imam Ahmad bin Hambal) menurut pendapat madzhab bahwasanya melafazkan niat
dalam peribadatan adalah sunah, agar lisan dapat membimbing hati.
Sebagian
Hanafiyah dan sebagian Hanabilah menyatakan bahwa melafazkan niat adalah
makruh. Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) mengatakan bolehnya melafazkan
niat dalam peribadatan, namun yang lebih utama adalah meninggalkannya, kecuali
bagi orang yang was-was maka baginya dianjurkan untuk melafazkannya untuk
menghilangkan kekacauan dalam pikirannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 42/67)
Syaikh
Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah menyebutkan:
“Secara
qah’i melafazkan niat tidaklah menjadi syarat sahnya, tetapi disunahkan menurut
jumhur (mayoritas) ulama -selain Malikiyah- melafazkannya untuk menolong hati
menghadirkan niat, agar pengucapan itu menjadi pembantu dalam mengingat, dan
yang lebih utama menurut kalangan Malikiyah adalah meninggalkan pelafazan niat
itu, karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
sahabatnya tentang melafazkan niat, begitu pula tidak ada riwayat dari imam
yang empat.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 1/137)
Jadi,
secara umum kebanyakan ulama madzhab adalah menyunnahkan melafazkan niat, ada
pun sebagian Hanafiyah dan sebagian Hanabilah memakruhkan. Sedangkan Malikyah
membolehkan walau lebih utama meninggalkannya, kecuali bagi orang yang was-was
maka dianjurkan mengucapan niat untuk mengusir was-was tersebut. Sedangkan para
imam perintis empat madzhab, tidak ada riwayat dari mereka tentang pensyariatan
melafazkan niat.
Pandangan
Pribadi Para Imam Kaum Muslimin
Berikut
adalah pandangan para ulama yang mendukung pelafazan niat, baik yang
menyunnahkan atau membolehkan.
1.
Imam Muhammad bin Hasan Rahimahullah, kawan sekaligus murid Imam Abu Hanifah
Rahimahullah.
Beliau
mengatakan:
النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ،
وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل
Artinya
: “Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah, dan
menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 42/100).
2.
Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah
Beliau
mengatakan:
وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ (
قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ
مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ )
Artinya
: “(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum
takbir) agar lisan membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat)
dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat
yang syadz (janggal), sunnahnya ini diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji
(yakni pengucapan kalimat talbiyah, pen).” (Tuhfah Al Muhtaj, 5/285).
3.
Imam Syihabuddin Ar Ramli Rahimahullah
Beliau
mengatakan:
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد
اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه
Artinya
: “Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk
membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari
perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” (Nihayatul Muhtaj,
1/457. Darul Fikr)
4.
Imam Al Bahuti Rahimahullah
Beliau
mengatakan ketika membahas niat dalam shalat:
وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا
وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا
Artinya
: “Tempatnya niat adalah di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah)
diucapkan lisan ..” (Kasyful Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam).
Dan
lain-lain.
Para ulama yang mendukung at talafuzh an niyah beralasan:
1.
Ayat yang berbunyi: Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan
melainkan disisinya ada malaikat pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan (QS.
Qaf : 18).
Dengan
demikian melafadzkan niat dgn lisan akan dicatat oleh malaikat sebagai amal
kebaikan.
Ayat
lainnya:
Kepada
Allah jualah naiknya kalimat yang baik (QS. Al Fathir : 10).
Maksudnya
segala perkataan hamba Allah yang baik akan diterima oleh Allah (Allah akan
menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk ucapan lafadz niat melakukan
amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
2.
Mereka mengqiyaskan (menganalogikan/mencari unsur yang sama) pelafazan niat
dengan pelafalan kalimat talbiyah dalam haji, yaitu kalimat: Labaik Allahumma
labaik …dst.
3.
Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffuzh binniyah (melafadzkan niat sebelum takbir)
Diriwayatkan
dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berkata :
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ
عُمْرَةً وَحَجًّاً
Artinya
: “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan
talbiyah haji dan umrah bersama-sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi
panggilanMu ya Allah untuk melaksanakan haji dan umrah”. (HR. Muslim)
Hadits
ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah
diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam
Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Ushalli ini diqiyaskan
kepada haji. Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
Hadits
Riwayat Bukhari dari Umar Radhiallahu ‘Anhu. Bahwa beliau mendengar Rasulullah
bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq : ”Shalatlah engkau di lembah yang
penuh berkah ini dan ucapkanlah: “Sengaja aku umrah di dalam haji”. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Semua
ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash
juga bias tetap dengan qiyas.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdussomad,
KH. Muhyiddin, Hujjah NU : Aqidah-Amaliyah-Tradisi,
(
Surabaya
Khalista, 2008)
Abdul
Hadi, KHM. Sulthon – Zein. MA, Drs. M. Ma’shum, Landasan Amaliyah Nahdliyah,(Jombang,
DPC PKB, 2008)
H.
Mujiburrohman, Argumentasi Ulama’ Syafi’iyah Terhadap Beberapa Tujuan
Bid’ah, ( Surabaya
Mutiara Ilmu, 2003)
http://adivictoria1924.wordpress.com/2012/02/13/tentang-niat-dan-polemik-melafazkan-niat-ushalli-dan-nawaitu/
Santri
Madrasah Diniyah MM Darut Taqwa PonPes Ngalah Periode 1430/1431, Fiqih Galak
Gampil, Menggali Dasar Tradisi Keagamaan Muslim ‘Ala
Indonesia,
(Madrasah Diniyah MM Darut Taqwa, Jl. Pesantren Ngalah Pandean Sengonagung Purwoasri Pasuruan)
[1] Lebih
jelas lihat : (Sumber Konflik Masyarakat Muslim NU-Muhammadiyah : Persoektif
Keberterimaan Tahlil, diterbitkan oleh Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 257-259).
[2] Ini
adalah pendapat sekelompok ulam serta mayoritas ulama Syafi’iyah. Ulama yang
mengataka kesunahan ini diantaranya adalah al-Qadli Husain dalam kitab Ta’liqnya,
murid beliau yang bernama Abu Sa’ad al-mutawalli dalam kitabya al-Tatimmah,
Syaikh Imam Abu al-Fath Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi, al-Imam Abu Qasim
al-Rafi’I, dan lainnya. Al-Qadli Husain menyitir pendapat ini dari kalaga
Syafi’iyah,” al-Adzkar al-Nawawiyah, hal.206).
[3] Sayyid
Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani menegaskan bahwa sekalipun hadits tentang
talqin ini hadits dlaif, namun dapat diamalan dalam rangka fadlail al-a’mal.
Lebih-lebih karena hadits itu masuk pada kategori prinsip yang universal, yakni
usaha seorang mukmin untuk memberi (dan membantu) saudaranya, serta untuk
memperigatknannya karena perigatan itu akan dapat bermanfaat kepada orang
mukmin. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, hal. 111).
[4] Imam
Muslim, Sahih….., Op-Cit, juz: II, hal. 157-158
[5]
Al-Ramli, Muhammad Syamsuddin, nihayah al-Mukhtaj, juz: I, (Beirut, Maktabah Dar al-Fikr, tth), hal: 437.
[6]
Al-Suyuti, al-Jami’ al-Saghir…., Op-Cit, juz: 1, hal: 104
[7] Muslim,
Shahih…., Op-Cit, Hadits Indek Nomor: 2168
[8]
Al-Suyuti, Al-Asybah wa an anhzair, hal:25
[9]
Al-Sya’rany, al-Mizan li as Sya’rany, hal: 148
[10]
Al-Ramly, Nihayah….., LoCit, juz: I
sip
BalasHapus